Minggu, 15 Mei 2011

Prahara Rumah Tangga


Suatu hari di bulan Mei 2010, seorang wanita kenalan saya berusia sekitar 52 tahun menghubungi saya via telpon, sebut saja namanya ibu Rossita (bukan nama sebenarnya) Dari nada suaranya bu Rossita, terdengar kalau dia sangat tertekan dan stress. Ibu Rossita menceritakan bahwa dirinya mempunyai masalah keluarga dimana dia merasa si suami selingkuh dengan seorang wanita muda. Saya berusaha menenangkannya dan mencoba menerapinya via telpon, namun sang kenalan ini tidak mau dan tidak mengijinkan saya melakukannya dengan alasan dia dalam kondisi yang sangat gamang dan tidak bisa konsentrasi saat itu, bahkan dia sibuk berbicara mengeluhkan masalahnya dan tidak mengindahkan sama sekali perkataan saya. Akhirnya saya hanya sebagai pendengar membiarkan saja dia berbicara panjang lebar tanpa bisa diberhentikan dan baru berhenti setelah saya katakan kalau saya kedatangan klien. Rupanya bu Rossita ini masih belum puas mengeluarkan isi hatinya dan dia mengirimi saya sms. Pagi, siang, malam hari, tengah malam bahkan sampai jam 3 pagi. Wuih.. seru banget isi smsnya. Pada saat itu saya tidak begitu memperhatikan isi smsnya karena saya sendiri sedang menghadapi klien yang sudah saya jadwal kedatangannya dan beberapa kegiatan lainnya yang cukup menyita waktu dan konsentrasi. Esok harinya saat saya tahu dia akan keluar rumah menuju tengah kota Jakarta, saya janjian dengannya untuk ikut mobilnya ke arah yang sama, namun saya akan turun di daerah Karet.

Selama dalam perjalanan, sambil menyetir mobil bu Rossita terus menceritakan sakit hatinya, kegundahannya, merasa tidak dihargai oleh suami, perasaan kecewa, sedih dan sebagainya, bahkan dia sudah siap untuk mengajukan cerai pada kondisi talak tiga, walau sebenarnya di hati kecilnya dia sangat mencintai suaminya tersebut. Dengan rasa simpati saya mengatakan bahwa rasa sakit hatinya dapat di netralisir melalui terapi, sehingga dia dapat menghadapi masalah keluarga tersebut dengan kepala dingin. Namun dengan tegas kembali bu Rossita menolak niat baik saya ini, dengan alasan tidak ada waktu dan tidak bisa konsentrasi. Akhirnya dengan sedikit rayuan saya minta ijin untuk menerapinya dengan menjelaskan bahwa dia akan diterapi saat ini juga, di mobil dalam kondisi mobil berjalan dan dia tetap sebagai pengemudinya. Ibu Rossita heran mendengar keterangan saya tersebut dan dia kembali bertanya untuk meyakinkan apa yang saya ucapkan tadi; “di mobil?, sambil menyetir?”, “Ya, sekarang.” Jawab saya dengan santai agar suasana menjadi cair dan rileks. Saat itu mobil sudah melaju di daerah Mayestik. Setelah dia mengatakan kesiapan dan mengijinkan saya untuk menerapinya maka saya memintanya untuk konsentrasi melihat jalan dan pada saat itu saya memasukkan suatu program teknik perubahan secara cepat. Setelah selesai memasukkan program yang hanya berkisar 3 menit, kami mulai berbincang kembali dengan melakukan tanya jawab, kadang kala memintanya untuk bercerita tentang masalahnya dan pada saat lain memintanya untuk meneruskan kalimat-kalimat yang saya buat.

Saat mobil sampai di Karet, proses terapi juga selesai. Dengan demikian proses terapi hanya memakan waktu tempuh dari Mayestik hingga ke Karet dengan kecepatan mobil normal dan pada saat itu jalanan juga lancar tanpa macet, jadi sekitar 15-20 menit. Kemudian saya turun dengan perasaan senang karena sudah berhasil menerapinya, tinggal menunggu hasilnya apa yang terjadi kemudian pada si ibu Rossita ini. Malam harinya saya bisa tidur pulas karena tidak ada satupun sms darinya, begitu pula keesokan harinya dan hari-hari berikutnya. Seminggu kemudian saya bertemu dengannya di suatu pertemuan, dimana bu Rossita terlihat jauh lebih tenang dan mengatakan bahwa dia merasa kasihan pada suaminya karena suaminya lagi kurang sehat, sehingga dia tidak tega untuk mengajukan perceraian. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga bu Rossita tidak saya ketahui secara pasti, namun saat ini sudah setahun lebih sejak peristiwa terapi tersebut dan bu Rossita tidak pernah memperbincangkan lagi masalahnya dan sebaliknya dia terlihat rukun dengan suaminya, bahkan beberapa bulan yang lalu setelah saya terapi, tepatnya di bulan Oktober 2010, terlihat mobil baru digarasinya menggantikan mobil lama yang tempo hari kami naiki, menurutnya itu hadiah dari sang suami tercinta. Selamat ya, semoga terus rukun!

Sebuah prahara rumah tangga dapat diselamatkan hanya dengan mengijinkan dirinya diterapi selama beberapa menit saja, mengacuhkan rasa egonya sejenak untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupan selanjutnya. Inilah fenomena yang banyak terjadi dalam masyarakat dimana merasa dirinya mampu untuk mengatasi masalahnya sendiri dan malu bila ada seseorang yang menolong dirinya melakukan terapi, karena masih beranggapan bahwa mereka yang diterapi adalah orang-orang yang jiwanya gila. Akh…!!

Tangerang, 15 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar